ARTIKEL ini bukan sebagai penilaian atau kritik terhadap seseorang atau siapa pun, tetapi hanya sekedar memotret realitas politik kepemimpinan di beberapa daerah yang viral. Fenomena kepala daerah yang menunjukkan perilaku marah, membentak, dan mengancam pejabat birokrasi di ruang publik kian sering terjadi dan mendapat sorotan luas dari masyarakat serta media. Dalam sebuah rapat resmi yang disiarkan langsung, seorang kepala daerah berdiri dan membentak bawahannya. Nada tinggi, gestur tangan menunjuk-nunjuk, bahkan ada ancaman: “Kalau tidak becus kerja, saya copot kamu!” Penonton bersorak di kolom komentar—“Akhirnya ada pemimpin yang tegas!” Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah benar itu bentuk ketegasan? Atau justru pertunjukan kekuasaan yang merusak tata kelola pemerintahan? Tindakan tersebut kerap dianggap sebagai simbol ketegasan dan kepemimpinan yang kuat. Namun, dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), gaya kepemimpinan seperti ini justru menimbulkan persoalan serius dalam sistem birokrasi, terutama terkait dengan profesionalisme, etika administrasi, dan efektivitas pelayanan publik. Tulisan ini menganalisis fenomena tersebut melalui pendekatan deskriptif-kualitatif dengan meninjau aspek psikologis, sosial-politik, serta implikasinya terhadap budaya kerja birokrasi di tingkat daerah. Hasil kajian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan otoriter yang mengedepankan ekspresi kemarahan secara terbuka berpotensi menciptakan budaya kerja berbasis ketakutan (fear-based governance), melemahkan fungsi kontrol internal birokrasi, serta mengganggu stabilitas dan integritas organisasi pemerintah daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin daerah yang mampu bersikap tegas secara etis dan komunikatif, serta memperkuat sistem manajerial yang transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam kerangka demokrasi lokal yang sehat.
“Gaya Marah” Jadi Branding Kekuasaan
Fenomena kepala daerah marah-marah ini kini jadi semacam strategi komunikasi politik. Mengapa ? tidak dapat diabaikan tekanan media sosial atas janji politik dan ekspektasi publik akan “pemimpin kuat”, muncul tren baru: pemimpin yang tampil keras, tegas, bahkan galak. Padahal, sering kali amarah itu ditujukan bukan dalam ruang tertutup, tapi secara terbuka dan sengaja disiarkan. Kenapa? Karena kamera menyala, netizen menonton, dan pencitraan sebagai “pemimpin tanpa kompromi” bisa viral dalam hitungan menit. Ini bukan lagi sekadar kemarahan, tapi konstruksi citra. Dalam istilah politik, ini disebut “authoritarian performance”—pertunjukan kekuasaan agar terlihat berwibawa, meski kadang tak dibarengi dengan perbaikan sistemik. Ada kajian literatur yang membahas fenomena kepala daerah yang marah dan mengancam pejabat birokrasi, dalam konteks kepemimpinan pemerintahan daerah dan tata kelola birokrasi:
Jejak literatur Fenomena Kepala Daerah Marah & Kepemimpinan Otoriter
Literatur / Tokoh / Konsep | Fokus Pembahasan | Kontribusi terhadap phenomena |
Max Weber – Tipe Kepemimpinan | Rasional-legal vs. karismatik vs. tradisional | Menjelaskan bagaimana kepala daerah bisa tampil karismatik atau otoriter, namun belum tentu rasional dalam sistem. |
Robert Blake & Jane Mouton – Grid Kepemimpinan | Kepemimpinan berorientasi tugas vs. orientasi manusia | Membantu mengkaji apakah pemimpin yang marah bersifat orientasi hasil atau mengabaikan dimensi kemanusiaan. |
Kurt Lewin – Tipe Kepemimpinan Otoriter | Gaya otoriter, demokratis, dan laissez-faire | Menjelaskan dampak psikologis dan produktivitas dalam organisasi akibat gaya otoriter yang dominan. |
Greenleaf – Servant Leadership | Pemimpin sebagai pelayan publik | Memberikan kerangka ideal pemimpin publik yang empatik, melayani, bukan mengintimidasi atau menunjukkan kuasa. |
Dwiyanto (2006) – Reformasi Birokrasi di Indonesia | Profesionalisme dan budaya kerja birokrasi | Menyoroti bagaimana gaya kepemimpinan emosional menghambat reformasi dan mendorong birokrasi tidak profesional. |
Denhardt & Denhardt – New Public Service | Pelayanan publik berorientasi warga (citizen-centered governance) | Memberi arah bagaimana pemimpin seharusnya mendukung kolaborasi dan pemberdayaan, bukan dominasi satu arah. |
Kuncoro (2013) – Politik dan Pemerintahan Daerah | Relasi antara politik lokal dan birokrasi | Memberi pemahaman tentang bagaimana dinamika politik memengaruhi etika dan profesionalisme birokrasi daerah. |
Liputan Kasus Nyata (KPK, Ombudsman) | Data empirik terkait kepala daerah marah, bentak, dan ancam pejabat publik | Menunjukkan bahwa gaya intimidatif bisa terkait dengan korupsi, patronase politik, dan ketidakefisienan birokrasi. |
Fenomena ini mulai dianggap normal atau bahkan dianggap sebagai gaya kepemimpinan tegas, padahal bisa berbahaya secara sistemik. Mengapa ? Dalam konteks pemerintahan, kepemimpinan otoriter sering kali menimbulkan efek yang merusak bukan hanya pada kelancaran birokrasi, tetapi juga pada tata kelola pemerintahan secara keseluruhan. Pendekatan yang menekankan kemarahan dan ancaman dari seorang pemimpin menciptakan atmosfer yang tidak mendukung inovasi dan profesionalisme. Lewin dan Weber menggambarkan bahwa gaya kepemimpinan otoriter yang marah dan mengancam ini justru lebih berfokus pada loyalitas pribadi daripada pengutamaan profesionalisme atau kinerja yang berbasis pada rasionalitas dan legalitas.
Hal ini menciptakan pola kerja di mana pegawai negeri (ASN) lebih mementingkan untuk menyenangkan atasan daripada berfokus pada pelayanan publik yang sebenarnya. Birokrasi yang dibentuk di bawah kepemimpinan semacam ini cenderung mengarah pada budaya takut salah. Kepala daerah atau atasan yang menggunakan ketakutan sebagai alat manajemen menyebabkan pegawainya cenderung menghindari risiko, tidak berani melakukan terobosan, dan lebih memilih untuk tidak berkonflik dengan atasan. Hal ini berimbas pada kreativitas yang terhambat, dengan ASN lebih memilih untuk bertahan dalam zona aman dan menjaga hubungan baik dengan atasan ketimbang berinovasi dalam pelayanan publik. Kepemimpinan otoriter ini pada gilirannya menumbuhkan birokrasi feodal, di mana loyalitas kepada atasan di atas segalanya, dan bukan kepada sistem atau rakyat.
Ketika seorang kepala daerah menggunakan kekuasaannya dengan cara yang merusak tata kelola pemerintahan, prinsip-prinsip good governance—seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi—akan terabaikan. ASN yang merasa terancam dan tidak aman dalam memberikan masukan atau kritik akan merasa bahwa tidak ada mekanisme yang sehat untuk melakukan check and balance di dalam sistem birokrasi. Keputusan-keputusan yang diambil hanya menguntungkan pemimpin dan tidak mencerminkan prinsip keadilan atau kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini semakin menguat dalam era media sosial saat ini, di mana kepala daerah seringkali melakukan pertunjukan populis atau dikenal dengan istilah “Authoritarian Performance” (Pepinsky, Slater, dan lainnya).
Dalam banyak kasus, kemarahan yang ditunjukkan oleh kepala daerah bisa jadi bukanlah bentuk kepemimpinan yang konstruktif, melainkan pertunjukan untuk memperkuat citra pribadi di depan publik. Media sosial, dengan viralitas yang tinggi, memberikan kekuatan tambahan bagi kepala daerah untuk menunjukkan kekuasaan dan ketegasan mereka, meskipun dalam realitanya, hal tersebut tidak memberikan solusi nyata untuk masalah publik. Efek jangka panjang dari kepemimpinan otoriter ini sangatlah merugikan. Salah satunya adalah penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam birokrasi, karena promosi dan penghargaan tidak lagi berbasis pada kinerja atau meritokrasi, tetapi lebih pada loyalitas pribadi.
Hal ini mengakibatkan birokrasi menjadi kurang profesional dan kurang kompeten. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pusat keputusan menimbulkan masalah korupsi kekuasaan, di mana kekuasaan digunakan bukan untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih baik, tetapi hanya untuk memperkuat citra pribadi dan kekuasaan politiknya. Kepemimpinan otoriter yang mengandalkan ancaman, kemarahan, dan pertunjukan populis tidak hanya merusak kualitas SDM dalam birokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk mengutamakan kepemimpinan rasional-legal yang berbasis pada keadilan dan profesionalisme, guna menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Fenomena kepemimpinan otoriter yang mengandalkan kemarahan, ancaman, dan pertunjukan populis jelas menunjukkan kelemahan di berbagai sisi, terutama dalam aspek manajerial, koordinasi, dan lainnya. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana fenomena ini mencerminkan kelemahan-kelemahan tersebut:
Kelemen dalam Aspek Manajerial:
Pengambilan Keputusan yang Tidak Rasional: Kepemimpinan otoriter yang didasarkan pada kemarahan dan ancaman sering kali mengabaikan rasionalitas dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang cenderung tidak sabar dan lebih sering mengambil keputusan impulsif tanpa mempertimbangkan data atau masukan dari bawahannya, dapat menyebabkan kebijakan yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Hal ini mengarah pada pengelolaan sumber daya yang tidak efisien dan keputusan yang kurang berbasis pada kebutuhan riil. Kurangnya Perencanaan Strategis: Gaya kepemimpinan yang bergantung pada emosi atau populisme mengarah pada kebijakan yang lebih bersifat sementara dan taktis, bukannya strategis. Hal ini menyebabkan perencanaan jangka panjang yang lemah dan sering kali diabaikan. Tanpa perencanaan yang matang, organisasi atau pemerintahan akan kesulitan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pemimpin Sebagai Sumber Utama Keputusan: Dalam sistem otoriter, pemimpin yang merasa dirinya adalah satu-satunya pusat keputusan mengarah pada konsentrasi kekuasaan. Hal ini membatasi delegasi wewenang dan pemberdayaan tim. Keputusan yang hanya berpusat pada pemimpin tanpa melibatkan pihak lain membuat proses manajerial menjadi terhambat dan kurang responsif terhadap masalah yang ada.
Kelemahan dalam Aspek Koordinasi:
Fragmentasi dalam Kolaborasi dan Kerja Tim: Ketika atasan menggunakan ketakutan sebagai alat manajemen, pegawai cenderung menghindari konflik atau interaksi yang tidak aman. Hal ini mempengaruhi koordinasi antar bagian dan menciptakan fragmentasi dalam tim atau antar unit kerja. Setiap orang lebih berfokus pada keselamatan diri sendiri dan berusaha untuk menyenangkan atasan, alih-alih bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Kurangnya Komunikasi yang Efektif: Ketika budaya birokrasi feodal muncul, pegawai cenderung takut untuk memberikan masukan atau kritik konstruktif. Hal ini menyebabkan aliran informasi yang terhambat, dengan komunikasi vertikal yang tidak lancar dan jarang terjadi dialog dua arah antara pemimpin dan bawahan. Koordinasi antar departemen atau unit menjadi tidak efektif karena informasi yang seharusnya dibagikan atau dibahas sering kali disembunyikan. Stagnasi dalam Inovasi dan Responsivitas: Ketika pegawai merasa takut untuk mengambil inisiatif atau membuat keputusan, akan muncul stagnasi dalam inovasi. Ketika koordinasi terhambat dan setiap orang bekerja berdasarkan perintah tanpa peran aktif dalam pembuatan kebijakan, maka organisasi menjadi lamban dalam merespon perubahan dan tantangan baru. Inovasi tidak berkembang karena pegawai lebih takut untuk mencoba hal baru.
Kelemahan dalam Sistem Tata Kelola:
Melemahnya Good Governance: Kepemimpinan yang mengandalkan kekuasaan otoriter tidak hanya merusak sisi manajerial dan koordinasi, tetapi juga merusak prinsip-prinsip good governance. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi menjadi terabaikan karena adanya penutupan terhadap kritik dan ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa adanya mekanisme check and balance, maka pengawasan terhadap kebijakan dan tindakan pemimpin tidak berjalan dengan baik. Korupsi Kekuasaan: Kelemahan dalam tata kelola pemerintahan ini juga berpotensi menumbuhkan korupsi kekuasaan. Ketika seorang pemimpin merasa dirinya sebagai satu-satunya sumber keputusan dan menggunakan kekuasaan untuk tujuan pribadi atau politik, ini membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam jangka panjang, hal ini memperburuk integritas dan akuntabilitas pemerintahan.
Akhirnya fenomena kepemimpinan otoriter yang cenderung mengandalkan kemarahan dan ancaman memunculkan berbagai kelemahan manajerial dan koordinasi, serta merusak prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik. Kepemimpinan yang tidak rasional, mengabaikan komunikasi terbuka, dan menumpulkan inovasi tidak hanya merugikan birokrasi, tetapi juga pembangunan sistem pemerintahan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu ada perubahan menuju kepemimpinan yang rasional, transparan, dan berorientasi pada kolaborasi untuk mendorong terciptanya governance yang lebih efektif dan berorientasi pada masyarakat.
*Dosen pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang