Lentera-PENDIDIKAN.com,PALEMBANG-Dengan perjuangan panjang dan tekad tak kenal lelah, sejarawan Kota Palembang sekaligus dosen UIN Raden Fatah Palembang, Kemas Abdul Rachman Panji (Kemas Ari Panji), akhirnya meraih gelar Doktor Peradaban Islam ke-272 dengan predikat Amat Memuaskan.
Sidang promosi doktor digelar di Gedung Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang, Rabu (18/6/2025). Momen bersejarah ini dihadiri tokoh-tokoh penting, termasuk Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Raden Muhammad Fauwaz Diradja, Asisten II Setda Kota Palembang Isnaini Madani , Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) Vebri A Lintani , Ketua MSI Kota Palembang Dr Dedi Irwanto MA serta berbagai komunitas sejarah, anak dan istri serta keluarga, kerabat serta teman dari Kemas Abdul Rachman Panji, perwakilan Dinas Kebudayaan Kota Palembang dan Dinas Pariwisata kota Palembang.
Kemas Abdul Rachman Panji berhasil mempertahankan disertasinya dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di bidang Peradaban Islam, dengan judul disertasi “ Mata Uang Kesultanan Palembang Darussalam Dalam Perspektif Sejarah Politik “.
Sidang Terbuka Promosi Doktor ini, dihadiri Promotor/penguji ,Prof Dr Muhammad Adil MA, Co Promotor/penguji , Prof Dr Abdul Hadi M Ag, sedangkan Ketua penguji, Prof Dr Munir M Ag dan penguji lain Drs Masyhur M Ag, Ph D , Dr Nur Fitriyana M Ag, Dr Nyimas Umi Kalsum M Hum, Prof Dr Hamidah M Ag dan sekretaris Dr Alimron S Ag M Ag
Dalam kesempatan tersebut, Kemas Ari Panji menjelaskan, mata uang Kesultanan Palembang Darussalam saat ini belum banyak dikenal.
“Kajian literatur mata uang ini pun tidak terlalu banyak. Padahal pada masa Kesultanan Palembang Darussalam terdapat dua mata uang yakni uang pitis tebok dan uang pitis buntu,” katanya.
Padahal, mata uang Kesultanan Palembang Darussalam memiliki peran penting dalam sejarah sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Palembang pada masa kejayaan Kesultanan. Lebih dari sekadar alat tukar, pitis terbukti menjadi simbol identitas, kedaulatan, dan keberanian dalam menghadapi intervensi kolonial.
“Pitis tidak hanya berfungsi sebagai alat transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai cerminan dari dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat Palembang pada masa kejayaannya,” katanya.
Dari perspektif politik, intervensi Belanda terhadap sistem keuangan kesultanan menunjukkan bagaimana kekuatan eksternal dapat mempengaruhi struktur ekonomi lokal. Dimana penggantian pitis dengan gulden Belanda tidak hanya mengubah sistem moneter tetapi juga membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat.
“Namun sejarah juga mencatat bagaimana pitis menjadi simbol kedaulatan dan identitas masyarakat Palembang,” katanya.
Serta bagaimana desain dan inskripsi pada koin tersebut memberikan wawasan tentang pengaruh Islam dan hubungan perdagangan yang luas dengan negara-negara lain.
“Seperti Tiongkok dan kerajaan-kerajaan di Timur Tengah,” terangnya.
Sejarah juga mencatat perlawanan dan kecerdikan Sultan Mahmud Badaruddin II. Dalam menghadapi tekanan ekonomi dan politik kolonial, sang Sultan mampu bernegosiasi cerdas dalam perdagangan komoditas unggulan seperti timah dan lada.
Ini menjadi bukti bahwa walaupun kesultanan berada dalam bayang-bayang kekuasaan asing, ruang untuk bertahan dan mengatur strategi tetap tersedia. Bahkan, dalam ketegangan itulah terlihat daya adaptasi dan ketangguhan pemimpin lokal.
Aspek ekonomi dalam disertasi ini turut memperlihatkan bagaimana perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya menjadi pilar utama perekonomian kesultanan Palembang. Serta bagaimana kondisi geografis yang strategis memungkinkan kesultanan untuk berperan sebagai pusat perdagangan yang vital di kawasan ini.
“Dalam suasana demikian, pitis bukan hanya alat tukar, tetapi instrumen pengendali ekonomi lokal yang sah,” jelasnya.